Pages

Jumat, 14 Oktober 2011

autobiografi

                Andi Cinnong Athharil Akhyaril Khafiyyi Joenoes. Nama yang orang tua saya berikan saat saya dilahirkan 17 tahun lalu, tepatnya 02 April 1993 di salah satu kota terpencil Kendari (Sulawesi Tenggara). Saya merupakan kakak dari kedua adik lelaki saya,  Ayah saya hnya seorang  wiraswasta dan Ibu sebagai ibu rumah tangga yang selalu ada untuk anak-anaknya.
                Dulu, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, Mami dan Papi (begitu saya menyebutnya) selalu memberi saya buku-buku bacaan entah itu komik, dongeng, bahkan novel yang diperuntukan bagi anak se usia saya. Mami tau rasa malas membaca kerap timbul dalam benak anak se usia saya. Oleh karena itu, Mami tak bosan untuk berdongeng di waktu tidur saya, mungkin tujuannya adalah membuat saya terbiasa dengan buku-buku bacaan.
                Memasuki kelas 5 SD,  pelajaran yang saya terima mulai sedikit rumit dan itu membutuhkan kemauan untuk membaca dari berbagai sumber. Saat itulah saya sadar, mungkin ini maksud dari Mami Papi yang sudah mengenalkan saya dengan begitu banyak buku bacaan sejak kecil. Karena mungkin, kelak saya harus membaca lebih banyak buku dari saat itu. Dan ternyata sosialisai sederhana yang diberikan Mami Papi sangat membantu saya, saya tidak merasa terbebani saat harus membaca buku yang begitu banyak dan bervariasi. Bahkan membaca menjadi kegiatan yang selalu mengisi hari-hari saya. Karena hobi ini juga saya berani mencoba untuk menulis, dimulai dari menulis buku harian.
                Sejak duduk dibangku SMP sudah banyak karya yang saya hasilkan. Diantaranya puisi dan cerpen. Mungkin tulisanku tidak seindah  penulis-penulis lain, pujangga-pujangga lain, atau penyair-penyair lain, tapi saya yakin ini adalah proses pembelajaran. Masih melekat kuat di dalam benak saat kawan saya bertanya “apakah kamu ingin menjadi seorang pengarang?”  dengan lantang saya menjawab “kelak kamu akan membaca nama saya di cover buku-buku best seller, dan kelak kamu akan mengenal saya sebagai penulis hebat”.  Saya bangga karena sejak duduk dibangku SMA puisi-puisi hasil karya saya sudah banyak yang menyukai, bahkan sudah beberapa kali dimuat di mading sekolah. Artikel yang saya buat juga kerap menjadi juara di beberapa kompetisi. Menurut saya, secara tidak langsung saya adalah pengarang kecil.
                Cita-cita terbesar saya adalah membuat novel. Novel yang ingin saya ciptakan adalah novel yang memiliki ciri khas tersendiri, seperti novel karya penulis wanita yang hebat. Djenar Maesa Ayu, karyanya memang sedikit vulgar, tapi itu ciri khasnya.  Nayla adalah novel pertamanya, ceritanya bagus, tapi tentu saja tetap dengan ciri khasnya.     Eksistensinya sebagai penulis memang tidak diragukan. Saya juga berharap kelak saya bisa mengikuti jejaknya.

Senin, 03 Januari 2011

Perjalanan ke Muara

Kurasa pertemuan kita sore ini begitu memaksa. Antara Parakan menuju Cicalengka aku memburu waktu.
Sepanjang Parakan, anak panah bola api membakar dua per tiga parasku, aku masih saja melanjutkan langkahku menujuMu. Entah berapa banyak waktu terurai lewat langkah yang tak begitu pasti.

Kurasa, sore ini takkan sampai pada tepinya, seiring langkahku yang entah kapan akan bertepi pada muara yang semu. Aku tak begitu sadar tudung langit mulai berubah warna, entah abu atau apa. Entah juga mengapa derap langkahku tak terhirau agas-agas yang kepayang. Setahuku aku hanya perlu menyekat waktu dari gemuruh angin yang menggaduh di sela-sela jilbab.

Kurasa, jarak kita lebih dekat dari perjalananku menuju surga. Kau begitu dekat mendekap jantungku.

Januari 2011

Minggu, 12 Desember 2010

ini masih tentang habibi


November tahun ini terasa begitu lama, tiap jengkal hari yang berlalu begitu sesak
Mencintaimu adalah candu
Habibi
Andai saja kau lihat dua jendela penghidupanku
Pasti ada klise tentang mu Habibi,
Andai kau hirup dalam-dalam rongga oksigenku
Maka satu lah nafas kita
Habibi.........
Masihkah kau ingat tentang tempat serupa langit ?
Masihkah kau hafal bagaimana kita saling menyapa ? Habibi:
November ini telah usai
Maka cukuplah hujan di jendela ku
Habibi:
Bila november ini datang lagi,
Dapatkah kau melihat ku dalam jendela mu ? sedang aku
Melihat cinta dalam pelangi mu

Desember 2010

ketika HABIBI dan HABIBI:


Mataku terpejam, sedang hati
Mengalunkan asma mu
Habibi....... habibi....
Dalam malam serupa ajal kau melagu
Lantunan mu  membiusku
Habibi:
Sepucuk senyum mu membawaku
Aku terbawa pada angan serupa syurga
Habibi,
Aku sudah tahu bagaimana
Ketika katup bibirku kelu
Aku mendadak bisu Habibi:
Sajak ini mungkin ambigu
Tapi ini seutuhnya kau
Ya Habibi:
Habibi kau Habibi:

Desember 2010

LORONG ke ESA-an

Ini kali pertama aku duduk di lorong kesepian
Angin berbisik pada kuping yang terhalang jilbab
: dia yang esa
Ini kali pertama aku menulis sembari tersenyum
Angin merasuk lewat pori yang merenggang
: dia yang utuh
Lorong ini tak seutuhnya kering,
Lantas menjelma hatiku yang mulai basah kembali
                Dia hanyalah suatu utuh dan esa
                Esa yang utuh
                Utuh seperti dia yang esa
Lorong ini memang bukan milikku
Hanya saja,
Ku tinggal hatiku dalam basahnya lorong ini.
Hingga nanti aku kembali
Lalu menulis dengan ke-esaan yang lain

Partere , November 2010

SEBATAS LUKA

Dalam hujan aku bertasbih
Mengurai kata yang tak sempat terangkai
Riuh angin memecah-belah rasa dalam tasbihku
Ya Rab,
Ini tasbihku akan luka yang meradang
Tentang kejamnya cambuk-cambuk cinta
                Yang menggores kekal dalam jiwa
Ya Rab,
Tasbihku tak lantas usai
Masih tersisa sepatah kata dari jiwa
                Yang  bergelayut pada tiap dahan cinta
Dalam hujan aku bersenandung
Mengakhiri tasbihku dengan lantunan luka
Hingga terlelap dalam malam